Penyesuaian Penghitungan Angsuran PPh Pasal 25 Berdasarkan PMK 81/2024

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 merupakan salah satu mekanisme pembayaran pajak dalam sistem perpajakan Indonesia yang bersifat self assessment. Melalui ketentuan ini, Wajib Pajak orang pribadi maupun badan diwajibkan untuk melakukan pembayaran PPh secara angsuran setiap bulan dalam tahun pajak berjalan. Tujuannya adalah untuk mencegah beban pembayaran pajak yang terlalu besar di akhir tahun. Dengan sistem ini, Wajib Pajak secara bertahap menyetor kewajiban pajaknya berdasarkan estimasi penghasilan tahun berjalan, setelah memperhitungkan kredit pajak yang dimiliki.

Landasan Hukum dan Perubahan Regulasi

Ketentuan umum mengenai angsuran PPh Pasal 25 diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU HPP (Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan). Ketentuan pelaksanaannya sebelumnya dirinci dalam PMK Nomor 215/PMK.03/2018, namun mulai 1 Januari 2025, aturan tersebut akan digantikan dan disesuaikan dengan PMK Nomor 81 Tahun 2024 tentang Tata Cara Penghitungan dan Penyetoran Angsuran PPh Pasal 25.

Penyesuaian ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum, meningkatkan kemudahan administrasi, serta menyelaraskan penghitungan angsuran dengan dinamika ekonomi dan kebutuhan pelaporan keuangan terkini. PMK 81/2024 memuat beberapa perubahan signifikan, khususnya yang tertuang dalam Pasal 226 hingga Pasal 237, yang membedakan pendekatan penghitungan angsuran dengan ketentuan sebelumnya.

Lima Pokok Penyesuaian Penghitungan Angsuran PPh Pasal 25

Terdapat lima poin penting dalam penyesuaian penghitungan angsuran PPh Pasal 25 berdasarkan PMK 81/2024 dibandingkan dengan PMK 215/2018, yaitu:

1. Pengembalian Kelebihan Pembayaran Angsuran

Apabila dalam proses penghitungan ulang angsuran PPh Pasal 25 terdapat kelebihan pembayaran, maka Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian. Pengembalian tersebut dapat dilakukan melalui dua cara:

  • Mengkreditkan kelebihan pembayaran dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh, atau

  • Mengajukan permohonan restitusi atas pajak yang seharusnya tidak terutang.

Hal ini memberikan fleksibilitas bagi Wajib Pajak dalam mengelola kelebihan setoran, sekaligus meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam sistem administrasi perpajakan.

2. Ketentuan Saat Laporan Keuangan Belum Final

Dalam praktiknya, terdapat situasi di mana laporan keuangan tahunan belum tersedia pada saat jatuh tempo penyetoran angsuran PPh Pasal 25 untuk masa pajak terakhir—khususnya bagi Wajib Pajak badan yang laporan keuangannya masih dalam proses audit. Dalam kondisi tersebut, Wajib Pajak bank dapat menggunakan jumlah angsuran masa pajak sebelumnya sebagai dasar untuk penyetoran angsuran terakhir. Ketentuan ini mencegah keterlambatan pembayaran serta tetap memberikan kepastian kewajiban meski laporan keuangan belum final.

3. Perhitungan dengan Memperhitungkan Fasilitas Perpajakan

PMK 81/2024 menegaskan bahwa dalam menghitung angsuran PPh Pasal 25, fasilitas perpajakan tertentu dapat diperhitungkan, khususnya bagi Wajib Pajak yang diwajibkan menyusun laporan keuangan berkala. Hal ini meliputi:

  • Penggunaan tarif PPh lebih rendah sesuai Pasal 17 ayat (2b) UU PPh, yakni bagi Wajib Pajak badan dalam negeri berbentuk Perseroan Terbuka yang memenuhi kriteria kepemilikan saham.

  • Pemanfaatan fasilitas pengurangan tarif berdasarkan Pasal 31E UU PPh untuk Wajib Pajak dengan peredaran bruto tertentu.

Fasilitas ini memberikan insentif bagi kepatuhan dan mendorong efisiensi penghitungan pajak berdasarkan kapasitas aktual usaha.

4. Kewajiban Pelaporan Penghitungan Angsuran

Wajib Pajak yang termasuk dalam kategori bank, BUMN, BUMD, Wajib Pajak emiten atau perusahaan terbuka, serta Wajib Pajak lainnya yang diwajibkan menyusun laporan keuangan secara berkala, juga diwajibkan untuk menyampaikan laporan penghitungan angsuran PPh Pasal 25. Tenggat waktu penyampaian laporan tersebut adalah paling lambat 20 hari setelah berakhirnya periode pelaporan. Ketentuan ini mendorong ketertiban pelaporan dan memungkinkan pengawasan yang lebih efektif oleh otoritas pajak.

5. Penghitungan Angsuran bagi Wajib Pajak OPPT

Khusus bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT), besarnya angsuran PPh Pasal 25 ditetapkan sebesar 0,75% dari peredaran bruto bulanan. Penghitungan ini mencakup seluruh tempat usaha yang dimiliki, termasuk tempat usaha yang berada di lokasi tempat tinggal Wajib Pajak. Ketentuan ini bersifat final dan sederhana, sehingga cocok untuk pelaku UMKM atau pengusaha kecil yang belum memiliki sistem akuntansi yang kompleks.


Penutup

Penyesuaian penghitungan angsuran PPh Pasal 25 melalui PMK 81/2024 mencerminkan upaya pemerintah dalam menciptakan sistem perpajakan yang lebih adaptif, adil, dan ramah terhadap dinamika pelaporan keuangan modern. Dengan memahami perubahan ini, Wajib Pajak diharapkan dapat mempersiapkan kewajiban perpajakan tahun 2025 secara lebih akurat dan tepat waktu.

Untuk menghindari kekeliruan dan potensi sanksi administrasi, penting bagi Wajib Pajak untuk selalu mengikuti perkembangan regulasi serta berkonsultasi dengan konsultan pajak atau pihak yang berwenang apabila terdapat kendala dalam penghitungan angsuran PPh Pasal 25.